MediaPers.com, Temanggung, 17 November 2024 – Posko 4 Kuliah Kerja Nyata (KKN) STABN Sriwijaya 2024 mengadakan seminar bertema “Moderasi Beragama: Menjaga Kerukunan Lintas Agama dalam Tradisi Nyadran”. Acara yang berlangsung di Aula Vihara Kartika Kusala, Dusun Gletuk, ini dihadiri oleh berbagai tokoh lintas agama Dusun Gletuk, tokoh masyarakat, ketua Vihara binaan posko 4 KKN STABN Sriwijaya 2024, ibu-ibu pengurus PKK, serta warga setempat. Seminar juga menghadirkan narasumber Parjono M.Pd.B., Kepala Program Studi Kepenyuluhan Buddha sekaligus sebagai Ketua Senat STABN Sriwijaya yang memberikan pemaparan mendalam tentang sejarah dan makna dari tradisi nyadran dalam konteks budaya Indonesia.
Dalam seminar tersebut, Parjono M.Pd.B. menjelaskan bahwa tradisi nyadran memiliki akar sejarah yang kuat sejak era Majapahit. Menurutnya, tradisi ini sebenarnya adalah bagian dari ritual Srada yang dilakukan untuk menghormati leluhur, khususnya Prabu Hayam Wuruk untuk memperingati upacara kematian neneknya Sri Rajapatni. “Dalam Kitab Negarakertagama disuratkan bahwa Perayaan srada pada masa Majapahit dilakukan selama 8 hari, sementara nyadran modern ini hanya dilakukan dalam satu hari. Namun, inti dari tradisi ini tetap sama, yaitu penghormatan kepada para leluhur,” kata Parjono.
Lebih lanjut, Parjono juga membahas bagaimana tradisi nyadran yang sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit ini kemudian diserap dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di sekitar wilayah Majapahit. Ia menyebutkan bahwa tradisi ini merupakan simbol dari keberagaman, di mana umat Buddha dan Hindu saling bergotong royong dalam perayaan tersebut. “Nyadran bukan hanya milik umat Buddha, namun juga semua umat turut serta merayakannya sebagai wujud kerukunan umat beragama,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Parjono juga mengungkapkan bahwa ada kaitan erat antara simbol burung Garuda Pancasila dengan budaya Hindu-Buddhis. Ia menjelaskan bahwa Istilah Pancasila terdapat dalam dua Karyasastra Buddha Nusantara, yaitu Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular. “Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi semboyan negara, diambil dari ajaran Siwa-Buddha yang mengajarkan tentang keberagaman dalam kesatuan,” ujarnya.
Selain itu, Parjono memaparkan bahwa lambang Garuda sendiri, yang diambil sebagai simbol negara Indonesia, memiliki makna mendalam. Burung Garuda, yang merupakan simbol kekuatan dan keberanian, tercatat dalam mitologi Hindu dan Buddha. Salah satu mitos menyebutkan bahwa Garuda adalah sosok yang membebaskan ibunya, bernama Winata, dari perbudakan. “Penggunaan burung Garuda sebagai lambang negara Indonesia juga memiliki latar belakang yang kuat, diambil dari Candi Sukuh di Jawa Tengah yang menggambarkan Garuda sebagai simbol pembebasan dari penjajahan,” jelasnya.
Acara seminar ini tidak hanya bertujuan untuk membahas sejarah dan makna nyadran, tetapi juga untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya moderasi beragama dan kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan sehari-hari. “Melalui kegiatan ini, kami berharap dapat makin mempererat hubungan antar umat beragama di Dusun Gletuk, dan mendorong masyarakat untuk terus menjaga toleransi serta saling menghormati yang telah terbangun,” ungkap Ketua Vihara Kartika Kusala dalam sambutannya.
Dengan tema yang mengangkat keberagaman budaya dan agama, seminar ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga kerukunan, serta mempererat persatuan di tengah perbedaan. Para peserta tampak antusias mengikuti jalannya acara yang diisi dengan diskusi interaktif, yang memperlihatkan rasa saling menghargai antar umat beragama di Dusun Gletuk.
Seminar ini juga menjadi bagian dari upaya POSKO 4 KKN STABN Sriwijaya untuk berkontribusi dalam pembangunan masyarakat (rvn)